Tuesday, September 25, 2007

SHORT TRAINING ON METEOROLOGICAL DATA COLLECTION

SHORT TRAINING ON METEOROLOGICAL DATA COLLECTION

On August 21, 2007, d a short training on meteorological data collection for staff of the Komodo National Park in Labuan Bajo, Flores, was held. This short training has trained10 staff of KNP and 1 student of IPB, Bogor, to operate Hobo Weather Station devices to collect and analyze weather data such as temperature, relative humidity, rainfall pattern, solar radiation, wind speed and direction. Following the training, the devices was set up in Loh Liang, Banu Nggulung, Lembah Poreng, Gunung Ara (>700 m dpl), Loh Buaya, and Gili Motang, to measure environmental and Komodo dragon nests weather parameters.


PELATIHAN SINGKAT PENGAMBILAN DATA CUACA

Pada tanggal 21 Agustus 2007, pelatihan singkat mengenai pengumpulan dan analisis data cuaca untuk staf Taman Nasional Komodo diadakan di Labuan Bajo, Flores. Diikuti oleh 10 staf TNK dan 1 mahasiswi IPB, pelatihan singkat ini memaparkan tentang teknik pengambilan data cuaca dengan menggunakan beberapa alat pengukur cuaca Hobo Weather Station. Data cuaca yang dikumpukan meliputi suhu, kelembaban relative, curah hujan, radiasi sinar matahari, dan kecepatan dan arah angin. Pelatihan ini ditindaklanjuti dengan pemasangan beberapa stasiun cuaca di Loh Liang, Banu Nggulung, Lembah Poreng, Gunung Ara (>700 m dpl), Loh Buaya, dan Gili Motang, meliputi pengukuran kondisi lingkungan lembah dan sekitar dan dalam sarang biawak Komodo.

Thursday, September 13, 2007

Komodo eating Turtle

It is well known that Komodo dragon is a carnivore and scavenger. Komodos main prey item is Timor deer (Cervus timorensis), however, this giant lizard is able to feed on various things such as buffalo, lizards, snakes, avians, small mammals (rats), and fishes (Auffenberg, 1981). Auffenberg (1981) also noted that Hawksbil sea turtle (Eretmochelys imbricata) and its eggs is one of Komodos prey among reptiles as their food.
A recent documentary (Aug 17th, 2007) showed three adult Komodo dragons are eating on a young Hawksbill sea turtle. This video is taken in Loh Liang, Komodo island, the biggest island within Komodo National Park.



Video showing adults Komodo dragon eating sea turtle
(sorry due to technical problem, the video can not be shown)

Komodo pulau kecil rentan punah



Biawak Komodo di pulau kecil lebih rentan untuk punah


Tim S Jessop, Claudio Ciofi, M Jeri Imansyah, Deni Purwandana, Achmad Ariefiandy, Heru Rudiharto


Dimuat di Warta Herpetofauna Indonesia bulan Agustus 2007


Biawak Komodo (Varanus komodoensis Ouwen) adalah biawak terbesar di dunia (King & Green, 1999), namun sebarannya sangatlah terbatas dan hanya dapat ditemukan di lima pulau di daerah Tenggara Indonesia (Ciofi & de Boer, 2004). Selain Flores, pulau terbesar dalam cakupan wilayah sebaran biawak Komodo, empat pulau lainnya, yaitu Komodo (393.4 km2), Rinca (278.0 km2), Gili Motang (10.3 km2), dan Nusa Kode (9.3 km2), termasuk dalam wilayah pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo (Jessop dkk., 2007a; PHKA, 2000). Bobot biawak Komodo dewasa dalam keadaan normal dapat mencapai 81.5 kg dan panjang tubuh keseluruhan dari moncong hingga ujung ekor mencapai 305 cm (Jessop dkk. unpublished data). Makanan utama Komodo dewasa adalah mamalia besar seperti Rusa Timor (Cervus timorensis), Kerbau (Bubalis bubalus) dan Babi (Sus scrofa), dengan mengandalkan strategi penyergapan dalam memburu mangsanya, sedangkan Komodo anak lebih aktif mencari untuk mendapatkan mangsanya seperti tokek pohon (Gekko gecko), telur Ayam hutan (Gallus gallus), ular, dan tikus (Auffenberg, 1981).

Ketergantungan yang cukup tinggi akan rusa sebagai makanan utamanya (>40%, Auffenberg, 1981) menyebabkan Komodo sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi pada populasi rusa di wilayah sebaran Komodo (Ciofi & de Boer, 2004; Jessop dkk., 2006). Indeks tahunan kepadatan spesies mangsa besar untuk biawak Komodo, Rusa Timor (Cervus timorensis) mengindikasikan kecenderungan penurunan selama kurun tahun 2003-2006 (Gambar 1a). Kepadatan rusa diketahui berkaitan secara positif dengan luasan pulau, di mana pulau besar, Komodo dan Rinca, secara signifikan lebih tinggi dari pada kepadatan di pulau kecil, Nusa Kode dan Gili Motang. Indeks kepadatan rusa tertinggi tercatat di pulau Komodo, sedangkan terendah di Gili Motang (Gambar 1a; Jessop dkk., 2007a).

Tabel 1. Kepadatan Komodo tiap pulau di TNK

Pulau

Ukuran pulau (km2)

Kepadatan /km2

Komodo

393.4

18,82

Rinca

278.0

30,58

Gili Motang

10.3

13,38

Nusa Kode

9.3

11,80


Gambar 1. Grafik fluktuasi indeks kepadatan tahunan rusa (a) dan korelasi kepadatan Komodo dengan indeks kepadatan rusa (b).

Kepadatan Komodo saat ini diketahui pada tingkat rata-rata di bawah 20 individu per km2 tiap pulaunya (Tabel 1). Secara keseluruhan, kepadatan populasi pulau tertinggi terdapat di pulau Rinca (30,58 individu/km2), sedangkan kepadatan terendah terdapat di Nusa Kode (11,80 individu/km2) (Jessop dkk. 2007a). Kepadatan biawak Komodo secara signifikan berkorelasi dengan indeks kepadatan rusa sebagai mangsa utamanya. Sebagai mangsa utama bagi komodo, kondisi populasi rusa merupakan komponen kunci yang sangat berpengaruh terhadap kondisi populasi komodo, baik secara fenotif, maupun tingkah laku (Jessop dkk., 2007b). Seiring dengan kondisi kepadatan Komodo tiap pulau yang berkorelasi dengan ukuran pulau, ukuran tubuh dan tingkah laku biawak Komodo pun nampaknya berkorelasi pula dengan ukuran pulau. Komodo di pulau besar cenderung memiliki ukuran tubuh besar dan memiliki agresivitas yang lebih tinggi, sedangkan Komodo di pulau kecil, yang memiliki ukuran tubuh relatif lebih kecil dan lebih waspada terhadap kemungkinan pemangsaan, dalam hal ini kanibalisme oleh Komodo yang lebih besar (Jessop dkk., 2007b).

Dari keseluruhan populasi pulau biawak Komodo di TNK, nampaknya populasi di Pulau Komodo dan pulau Rinca berada dalam kondisi aman, sedangkan populasi di pulau kecil Gili Motang dan Nusa Kode menunjukkan gejala berada dalam kondisi ancaman kepunahan yang lebih tinggi dari pada populasi pulau lainnya (Jessop dkk., 2007a). Hal ini terutama ditunjukkan dengan rendahnya kepadatan populasi biawak Komodo (>15 individu/km2), juga disertai dengan rendahnya nilai indeks kepadatan rusa sebagai mangsa utama (> 10). Perbedaan jenis dan ketersediaan mangsa antar pulau, serta kompetisi intraspesifik diketahui secara jelas menjadi faktor seleksi penentu perubahan populasi dan pembentukan struktur komunitas, dan akhirnya survival spesies, dalam habitat kepulauan (Grant, 1998). Perbedaan tingkah laku kewaspadaan antar populasi pulau dapat juga mencerminkan peningkatan tekanan predasi intraspesifik (Cooper 2003; Heithaus dkk. 2002; Stone dkk. 1994). Hal ini nampak dari respon biawak Komodo di Gili Motang dan Nusa Kode yang lebih sering menghindari kehadiran manusia dari pada populasi di pulau Komodo dan Rinca (Jessop dkk., 2007c).

Dari sudut pandang manajemen, perbedaan berbagai aspek biologi dan ekologi Komodo antar pulau dapat menggambarkan adanya kebutuhan untuk mengembangankan rencana spefisik pulau yang disesuaikan dengan kondisi populasi (Jessop dkk., 2007c). Hal ini terutama penting sehubungan dengan informasi demografis jangka panjang mengenai perbedaan kondisi populasi pulau di TN Komodo, dan awal gangguan terhadap populasi-populasi ini di mana penyebaran dan imigrasi dibatasi oleh halangan lautan (Whittaker, 1998).

Daftar Pustaka / References:

Auffenberg, W. 1981. The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor. Gainesville : University of Florida Press.

Ciofi, C. & de Boer, M.E. 2004. Distribution and conservation of the Komodo Monitor (Varanus komodoensis). Herpetological Journal 14: 99-107.

Cooper, W. E. Jr. 2003. Effect of risk on aspects of escape behavior by a lizard, Holbrookia propinqua, in relation to optimal escape theory. Ethology 109, 617-626.

Grant, P.R., 1998. Evolution on Islands. Oxford University Press, UK.

Heithaus, M. R., Frid, A. & Dill, L. M. 2002. Shark-inflicted injury frequencies, escape ability and habitat use of green and loggerhead turtles. Mar. Biol. 140, 229–236.

Jessop dkk. 2007a. Ekologi populasi, reproduksi, dan spasial biawak Komodo (Varanus komodoensis) di Taman Nasional Komodo. Disunting oleh Imansyah, M.J., Ariefiandy, A. dan Purwandana, D. BTNK/CRES-ZSSD/TNC.

Jessop, TS., Madsen T., Ciofi, C., Imansyah, M.J., Purwandana, D., Ariefiandy, A., Phillips, J.A. 2007b. Biawak Komodo plastis: respon predator besar terhadap pulau kecil. Terjemahan. Ariefiandy, A., Purwandana, D., Imansyah, M.J. CRES-ZSSD/BTNK/TNC. Labuan Bajo, Flores, Indonesia.

Jessop, T.S., Madsen, T., Ciofi, C., Imansyah, M.J., Purwandana, D., Rudiharto, H., Arifiandy, A., Phillips, J.A. 2007c. Island differences in population size structure and catch per unit effort and their conservation implications for Komodo dragons. Biological Conservation 135:247-255.

Jessop, T. S., Madsen, T., Sumner, J., Rudiharto, H., Phillips, J. A. and Ciofi, C. 2006. Maximum body size among insular Komodo dragon populations covaries with large prey density. _/ Oikos 112: 422_/429.

King, D.R. & Green, B. 1999. Goannas: the biology of Varanid lizards. Sydney: New South Wales Press Ltd.

PHKA. 2000. 25 years master plan for management Komodo National Park, Book 2: data and analysis. Jakarta: PHKA, The Nature Conservancy, Manggarai District Authority.

Stone, P. A., Snell, H. L. & Snell, H. M. 1994. Behavioral Diversity as Biological Diversity: Introduced Cats and Lava Lizard Wariness. Cons.Biol.8,569-573.

Whittaker, R. J. 1998. Island Biogeography: Ecology, Evolution and Conservation. Oxford: Oxford Univ. Press.

Penulis:

Tim S Jessop1,2, Claudio Ciofi3, M Jeri Imansyah1,4*, Deni Purwandana1,4, Achmad Ariefiandy1,4, Heru Rudiharto5

1) Center for Conservation and Research of Endangered Species; the Zoological Society of San Diego; San Pasqual Valley road, Escondido, CA. 92027-7000, USA.

2) Zoos Victoria; Elliot Avenue, Parkville, Melbourne, Victoria 3052, Australia.

3) Department of Genetic and Animal Science, University of Fiorentina, Florence, Italy

4) Balai Taman Nasional Komodo; Jl Kasimo, Labuan Bajo, Flores, Indonesia.

5) Komodo Species Survival Program Indonesia; Jl Sudirman IV, Gg Karya Bhakti II no 6, Denpasar 80232, Bali, Indonesia, ph 0361-7420434.

* Kontak: komodosspi@centrin.net.id

Island specific conservation strategies

Evidence for Island specific conservation strategies on Komodo dragons

M Jeri Imansyah,Tim S Jessop, Claudio Ciofi, Deni Purwandana, Achmad Ariefiandy, Heru Rudiharto, Aganto Seno

(Abstract presented in the International Seminar of Biology, Gadjah Mada University, Yogyakarta Indonesia, 7-8 September 2007)



INTRODUCTION

Insular species are mostly susceptible to threatening processes due to limiting environmental factors including habitat loss, harvesting and invasive species because they are isolated and occur on smaller land masses (Burkey, 1995). Komodo dragon (Varanus komodoensis) is an endemic and vulnerable species inhabiting five islands in the Lesser Sunda region, southeastIndonesia. To facilitate implementation of management and conservation strategiesfor Komodo dragons in Komodo National Park, we identified insular differences among four major island populations by examining 1) Komodo dragon population density, 2) Komodo dragon body size, and 3) density of prey species (the Timor deer Cervus timorensis).


MATERIALS AND METHODS

The study was undertaken from 2003 to 2006 across 10 study sites on the islands of Komodo (393.4 km2), Rinca (278.0 km2), Gili Motang (10.3 km2), and Nusa Kode (9.3 km2) within the boundary of Komodo National Park. Capture-mark-recapture techniques were implemented to estimate differences in population density and body size among island Komodo dragon populations. Indices of Timor deer density, the main prey of Komodo dragons, was estimated by implementing pellet group density counts along line transects.


RESULTS AND DISCUSSION

The study showed significant insular divergences in Komodo dragon population density, body size for both SVL and weight, and Timor deer density as its main prey (One way ANOVA F3,3=120.67, p<0.001;>F3,99=10960.97, p<0.001) name="OLE_LINK4">F3,99= 6707.63, p<0.001), style="color: black;">F3,1218=120.67, p<0.001, respectively) (Table 1). Smaller islands showed significantly lower values of these parameters than the larger islands. Timor deer density index was showed significant correlation with Komodo dragon population density (R2=0.635, F2,202=191.74, P<0.001)>2=0.80, F2,96=191.74, P<0.001) and weight (R2=0.73, F2,96=131.05, P<0.001).


The study suggests that there are major divergences in both population (density and body size) and ecological parameter (main prey density) among insular Komodo dragon populations. In particular, the Komodo dragon population on Gili Motang island displayed significant differences in both population size and individual body mass from the other islands. Ciofi & Bruford (1999) showed that the Gili Motang population had the lowest level of genetic diversity compared to other insular populations as a result of limited gene flow and high genetic drift. Low population density, a reduced degree of genetic variation and a shortage of main prey species demand for island-specific conservation strategies for Komodo dragons on Gili Motang. Current management strategies adopted by Komodo National Park authority do not include the Gili Motang Komodo dragon population within the park conservation priorities.. Therefore, management officials should consider design of island specific conservation strategy of Komodo dragon populations in Komodo National Park, particularly for small islands such as Gili Motang.


Table 1. Summary results of Komodo density, body size, and prey density index










Island
Komodo Density (ind/km2)
Komodo SVL (cm)
Komodo weight (kg)
Deer density (pellet group/ transect)



Komodo

18.83

142.80

63.93

26.97




Rinca

30.59

128.80

48.16

20.27




Gili Motang

13.68

99.41

17.06

5.64




Nusa Kode

11.80

95.53

15.99

7.81



Figure 1. Correlation between Deer density index and Komodo density


REFERENCES

[1] Burkey, T.V., “Extinction rates in archipelagos: implications for populations in fragmented habitats”, Conservation Biology 9, 527–541. 1995.

[2] Ciofi, C., Bruford, M.W., ”Genetic structure and gene flow among Komodo dragon populations inferred by microsatellite loci analysis”, Molecular Ecology 8, S17–S30.1999.

[3] Jessop, T.S., Madsen, T., Ciofi, C., Imansyah, M.J., Purwandana, D., Rudiharto, H., Arifiandy, A., Phillips, J.A, “Island differences in population size structure and catch per unit effort and their conservation implications for Komodo dragons”, Biological Conservation 135:247-255. 2007.


Ekologi Biawak Komodo

RINGKASAN PENELITIAN EKOLOGI BIAWAK KOMODO

DI BALAI TAMAN NASIONAL KOMODO, INDONESIA, 2002-2006


Tim S Jessop, Claudio Ciofi, M Jeri Imansyah, Deni Purwandana, Achmad Ariefiandi,

Heru Rudiharto, Aganto Seno, Ibrahim, Andy Phillips



PENDAHULUAN

Pada tahun 2002, sebuah proyek penelitian selama 5 tahun diinisiasi di Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) untuk membangun dasar-dasar pemantauan dan identifikasi kecenderungan ekologis pada populasi biawak Komodo dan spesies mangsa utamanya. Dalam pelaksanaan penelitian ini, 10 lokasi studi dipilih mencakup seluruh kawasan BTNK untuk menyediakan sebuah dasar yang dapat secara nyata mengembangkan manajemen hidupan liar dan konservasi spesies terrestrial kunci. Berikut adalah ringkasan beberapa kunci temuan dari penelitian yang dilaksanakan antara tahun 2002-2006. Pada bagian lampiran memuat daftar beberapa laporan dan publikasi terkini yang dihasilkan dari proyek ini sebagai dasar dalam penyediaan informasi tambahan.


TEMUAN KUNCI HASIL PENELITIAN

1. Ekologi Bersarang

Kegiatan besarang oleh betina biawak Komodo menunjukkan kencenderungan penurunan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2002, sebanyak dua puluh tujuh (27) sarang tercatat aktif, namun pada tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah sarang aktif menjadi 22, 17, 17, dan 7 pada 2003, 2004, 2005, dan 2006, secara berturut-turut. Kelimpahan sarang pada biawak Komodo secara positif berkorelasi dengan luas lembah (dalam hal ini semakin besar lembah, semakin banyak pula sarang yang ditemukan). Kebanyakan betina yang bersarang lebih memilih untuk menggunakan sarang gundukan (sarang gundukan ex burung Gosong Megapodius reindwardt) dari pada tipe lain, yaitu sarang lubang tanah dan sarang bukit. Setelah melatakkan telurnya, betina biawak Komodo akan menjaga sarang selama sekitar tiga bulan. Penjagaan sarang ini nampaknya berkaitan dengan masa berkurangnya aktivitas mencari makan pada betina sebagaimana teramati terjadinya pengurangan berat badan (rata-rata 3.42 kg). Interval aktivitas bersarang pada betina menujukkan bervariasi, Dimana hanya satu betina yang tercatat bersarang selama empat tahun berturut-turut, dua betina aktif selama dua tahun berturut-turut, dan kebanyakan betina tercatat hanya aktif sekali. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan betina berbiak tidak selalu setiap tahun. Setiap tahun, antara 12 -36 tetasan akan keluar dari sarang sekitar bulan February atau Maret (rata-rata 19.56 tetasan per sarang per tahun). Tetasan-tetasan tersebut memiliki rata-rata ukuran SVL 18.48 cm, panjang tubuh total 42.20 cm, dan berat 91.43 grams.

Grafik 1. Kecenderungan aktivitas bersarang oleh Biawak Komodo

Grafik 2. Berat badan betina selama masa bersarang (SR) dan non bersarang (NSR).


2. Pergerakan Spatial dan Wilayah Aktivitas

Pergerakan pada tetasan dari sarang mereka menunjukkan pola yang secara adalah linear (lurus) dan konsisten dengan natal dispersal. Jarak pergerakan harian dan ukuran wilayah aktivitas pada tetasan secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan anakan. Namun, terdapat kesamaan penggunaan habitat pada kedua kelas biawak Komodo yang belum dewasa ini dalam menggunakan hutan musim keraing dari pada tipe habita lainnya. Selama masa awal hidup mereka, tetasan sangat arboreal dibandingkan anakan, dan tingkat arboreal mereka sangatlah kuat berkorelasi dengan ukuran tubuh individual.

Pada Komodo dewasa, aktivitas baik betina maupun jantan menunjukkan variasi bulanan untuk jarak pergerakan harian dan ukuran wilayah aktivitas. Betina yang bersarang menunjukkan aktivitas yang selalu berpusat di sarang yang mereka jaga selama masa bersarang (Agustus hingga Desember). Betina bersaran mengalami peningkatan jarak pergerakan harian setelah bulan ketiga. Namun, wilayah inti mereka tidak menunjukkan perbedaan bulanan yang signifikan. Jarak pergerakan harian pada Komodo dewasa jantan bervariasi stiap bulannya. Pergerakan tertinggi pada jantan dewasa tercatat pada bulan Juni, ketika musim kawin dimulai, dan terendah pad abulan September, ketika musim kawin berakhir dan betina mulai bersarang.

Secara umum, jarak pergerakan harian dan ukuran wilayah aktivitas pada biawak Komodo berukuran lebih besar memiliki jarak dan ukuran yang secara signifikan lebih besar dari pada Komodo berukuran lebih kecil. jarak pergerakan dan ukuran luas wilayah aktivitas secara signifikan dan positif berkorelasi dengan ukuran tubuh individu. Perbedaan dalam ekologi spasial ini menunjukkan terdapatnya perubahan penting dalam tekanan seleksi yang berlaku pada setiap kelas ukuran yang berbeda pada biawak Komodo.

Table 1. Average of rates of movement (m) and size of home ranges (ha) for each size class.


Daily movement

Home range

Hatchling

32.61

3.02

Juvenile

129.14

24.31

Nesting Female

285.82

75.17

Adult Male

573.00

705.00


3. Dugaan Kepadatan Mangsa

Indeks tahunan kepadatan spesies mangsa besar untuk biawak Komodo, Rusa Timor (Cervus timorensis) dan Kerbau air (Bubalus bubalis) dinilai setiap tahunnya dari 2003-2006. Indeks tahuna kepadatan rusa mengindikasikan kecenderungan penurunan dalam empat tahun terakhir. Kepadatan mangsa diketahui berkaitan secara positif dengan luasan pulau, di mana pulau besar, Komodo dan Rinca, secara signifikan lebih tinggi dari pada kepadatan di pulau kecil, Nusa Kode dan Gili Motang. Kepadatan tertinggi tercatat di pulau Komodo, sedangkan terendah di Gili Motang. Indeks kepadatan kerbau di pulau Rinca menunjukkan kecenderungan berfluktuasi selama empat tahun terakhir ini, sedangkan di pulau Komodo cenderung stabil.

Grafik 3. Indeks kepadatan tiap pulau untuk Rusa Timor (a) dan Kerbau Air (b).


4. Dugaan Populasi dan Kepadatan

Ekstrapolasi untuk melakukan pendugaan kelimpahan populasi di pulau besar, Komodo dan Rinca, tidak memungkinkan dilakukan karena perbedaan mencolok tipe habitat di kedua pulau tersebut. Namun ekstrapolasi dapat dilakukan untuk pulau kecil, Nusa Kode dan Gili Motang, yang memiliki tipe habitat lebih seragam. Kelimpahan populasi di pulau Nusa Kode diduga terdapat 86,5 individu; sedangkan di Gili Motang diduga berada pada tingkat 126,8 individu. Kepadatan biawak Komodo secara signifikan berbeda antara tiap pulau. Populasi di pulau Rinca secara signifkan lebih padat (30.58 individu / km2) dari pada populasi di tiga pulau lainnya. Kepadatan biawak Komodo secara signifkan berkorelasi positif kuat dengan indeks kepadatan rusa pada masing-masing pulau. Hasil dugaan kelimpahan populasi di pulau Nusa Kode dan Gili Motang saat ini berada pada tingkat sekitar atau bahkan dibawah beberapa batas teoritis yang digunakan untuk menandai terjadinya gejala kepunahan. Stokastisiti (faktor-faktor tidak terduga yang bersifak buruk) demografik seringkali merupakan komponen utama ancaman terhadap viabilitas ukuran populasi pada tingkatan populasi yang berjumlah 100 individu atau kurang.

Table 2. Dugaan kelimpahan dan kepadatan biawak Komodo.

Lokasi




Ukuran area studi (km2)

Kelimpahan

Interval CI (95%)

Kepadatan /km2

Komodo








Loh Sebita




4.39

100.70

19.44-181.96

22.99

Loh Liang




6.42

92.48

80.76 -104.19

14.43

Loh Lawi




6.79

153.76

119.58 -187.93

15.24

Loh Wau




0.93

22.74

18.38 – 27.10

22.64

Average







18.82

Rinca








Loh Buaya




3.26

75.51

65.21 – 85.81

23.16

Loh Baru




3.02

95.55

79.03 – 112.08

31.63

Loh Tongker




1.56

75.20

62.27 – 88.12

48.20

Loh Dasami




2.25

43.53

34.61 – 52.44

19.35

Average







30.58

Gili Motang




3.49

47.60

34.75 – 60.45

13.38

Nusa Kode




0.94

11.09

4.95 – 17.05

11.80


5. Implikasi Terhadap Konservasi

  1. Penelitian ini talah menyediakan bukti bahwa ukuran tahunan populasi berbiak biawak Komodo relatif kecil dan bervariatif, mengindikasikan bahwa rekrutmen tahunan anakan (tetasan) hanya akan berjumlah beberapa ratus individu saja. Pemantauan jumlah betina bersarang mewakili komponen penting dalam menilai kecenderungan populasi pulau begitu juga upaya untuk dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi variasi tahunan jumlah betina berbiak.
  2. Nampaknya potensi dispersal pada semua kelas umur biawak Komodo relatif terbatasi dalam secara ekologi dan evolusi. Penelitian lebih lanjut dalam ekologi spasial spesies ini penting untuk dapat menentukan pergerakan jarak jauh (dalam hal ini kaitannya dengan aliran genetik) antara populasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa angka dispersal antar pulau tidaklah mencukupi untuk memulihkan populasi pulau yang berada dalam kondisi menurun atau bahkan menuju kepunahan.
  3. Ketersediaan mangsa, sangat jelas berpengaruh terhadap evolusi dan ekologi populasi biawak Komodo.
  4. Dibandingkan dengan pulau besar, Komodo dan Rinca, populasi biawak Komodo di pulau kecil, Nusa Kode dan Gili Motang, menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada tingkatan parameter individu maupun populasi. Berdasar pada meningkatnya potensi proses-proses genetik dan demografik yang dapat mengarahkan populasi kecil kepada kepunahan-pulau, pengelola BTNK hendaklah memulai dan menjaga keberlanjutan pemantauan tahunan terhadap populasi pulau kecil. Upaya ini akan memungkinkan para pengelola untuk mengukur kecenderungan demografik jangka panjang dan menyediakan dasar-dasar untuk mengukur tindakan yang diperlukan sebagai tanggapan dalam menghadapi kecenderungan penurunan pada populasi.
  5. Secara keseluruhan, terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa ketersediaan mangsa lokal, secara khusus dipengaruhi luasan pulai, seiring dengan terbatasnya dispersal antara populasi pulau biawak Komodo merupakan faktor utama yang dapat mengarahkan pola-pola ekologi yang nampak pada setiap populasi. Perbedaan nilai penting yang jelas ini membutuhkan protokol manajemen yang sangat spesifik-pulau untuk dapat mengoptimalkan konservasi spesies ini.


6. Kesenjangan Pengetahuan

  1. Berdasar panjangnya life-history biawak Komodo, sangatlah penting untuk menjaga keberlanjutan pemantauan jangka panjang, paling tidak 10-15 tahun, untuk dapat memastikan diperolehnya pemahaman menyeluruh akan dinamika populasi spesies dalam prioritas konservasi tinggi ini.
  2. Upaya-upaya dalam skala luas untuk dapat memahami hubungan tri-trophik antara iklim, kualitas habitat, dan dinamika populasi akan mangsa dan predator dalam BTNK sangatlah penting untuk dapat memahami proses dan sistem yang berlangsung.
  3. Diperlukan juga pemahaman memahami terhadap integrasi potensi gangguan antrophik setiap pulau (berkaitan dengan aktivitas oleh manusia) yang dapat berdampak paling tinggi terhadap populasi (misalnya untuk menduga kapan aktivitas manusia dapat berpengaruh terhadap populasi yang spesifik ?)


7. Rekomendasi

  1. Studi jangka panjang dan pemantauan lebih lanjut terhadap spesies ini, terutama implementasi teknik pemberian PIT tag untuk studi ­mark-recapture, pemantauan tahunan aktivitas bersarang, dan pendugaan kepadatan tahunan mangsa. Ini akan menyediakan informasi yang dapat diandalkan bagi para pengelola, terutama mengenai demografi, survival rate, pola penggunaan spasial, kecenderungan status reproduksi, dan kecenderungan ketersediaan mangsa bagi biawak Komodo.
  2. Studi genetik lebih lanjut untuk dapat menyediakan informasi struktus populasi biawak Komodo.
  3. Pengelola BTNK perlu untuk meningkatkan pengamanan terhadap pulau-pulau kecil, terutama Gili Motang, termasuk aktivitas patroli daratan di dalamnya.

RECENT STATUS, BIOLOGY, ECOLOGY, AND REPRODUCTION OF KOMODO DRAGONS

RECENT STATUS, BIOLOGY, ECOLOGY, AND REPRODUCTIOn OF KOMODO DRAGONS

M Jeri IMANSYAH



1. SystematicS and distribution of the komodo dragons


The Komodo dragon, Varanus komodoensis, was described for the first time by Major Peter A. Ouwen in 1912 (Auffenberg & Auffenberg 2002; Dunn 1927). This giant lizard species was placed in the genus Varanus, family Varanidae, order Squamata, Class Reptiles (Mattison 1992). Varanus salvadorii from Southern New Guinea and V. varius from Southeastern and Eastern Australia are believed to be the sister groups of V. komodoensis (King et al. 2002; Molnar 2004). The closest congeneric species occupying the same region is the Monitor lizard, V. salvator salvator (Auffenberg 1981).

Auffenberg (1981) reported that this species was called the “Ora” by the local people of Komodo, Rinca, and West Manggarai. There are several local names described by Auffenberg (1981) from across its distribution in the Lesser Sunda region (see Table 1). The name “Komodo” was taken from the name of the island where the first specimens were taken, and which means “rats” (Dunn 1928).



Table 1. Local names for Komodo dragon

Local name Region

Ora (also hora, lawora) Komodo, Rinca, West Manggarai

Buaya darat (= land crocodile) Komodo, Rinca, West Manggarai

Rugu (= Ora) Central Manggarai

Si (also ugu; = lizard) Central Manggarai

Lio (also ugu, = large monitor) Central Manggarai

Pendugu (Grandfather of Ora) Central Manggarai

Mbou (= Ora) Central Manggarai

Source: Auffenberg 1981


Even though the Komodo dragon is the largest lizard in the world, this species has the smallest range of any large carnivore (King & Green 1999; Mattison 1992; Pough et al. 2001). In the early studies of the Komodo dragon, this species was found in the heart of the Lesser Sunda region on the islands of Komodo, Rinca, Padar, Gili Motang, Gili Dasami (also known as Nusa Kode), and the Western coast of Flores Island (Dunn 1928; Fig. 2.1). Five of the islands are within the boundary of Komodo National Park (PHKA 2000; Fig 1). In studies conducted after 1991, this species could not be found on Padar Island (Ciofi & de Boer 2004; Jessop et al. 2004; Sastrawan & Ciofi 2002).


Figure 1. Distribution of Varanus komodoensis. Grey areas represent the curre distribution; black areas represent areas that were identified as part of the distribution by Auffenberg (1981); hatched areas indicate where V. komodoensis have been reported by villagers.

Source: Redrawn from Sastrawan & Ciofi 2002.



2. Present status of the komodo dragonS

Based on population surveys conducted by the park authority, there were approximately 2405 Komodo dragons living within Komodo National Park in 1998 (PHKA 2000, unpublished report). Ciofi and de Boer (2004) estimated that the population density of dragons on Flores was more than 60% lower than that reported for Komodo National Park (Table 2). Jessop et al. (2006 in press) estimated that the dragon population on Gili Motang Island has the lowest density of dragons of all the inhabited islands within the park (see Table 2).

The disappearance of resident Komodo dragons on Padar Island probably stemmed from the decline of Timor deer (Cervus timorensis) populations due to illegal hunting (Ciofi 1999; Ciofi & de Boer 2004). Pet and Subijanto (2001) reported that there were at least 3 cases (37.5 %) of deer hunting in Komodo National Park that had been sent to court during 2000-2001. Ciofi et al. (2002), Ciofi and de Boer (2004), and Primack (2004) stated that fragmentation and habitat disturbance as a result of the high population growth of humans are the main factors affecting Komodo dragon populations on Flores.


Table 2. Average density of Varanus komodoensis in Komodo National Park (KNP) and Flores Island.

Location Population density Number of sites

KNP 1 / 33.25 km 4

Komodo 13.7 ± 1.67 / km

Rinca 19.6 ± 3.13 / km

Nusa Kode 5.1 ± 0.61 / km

Gili Motang 3.2 ± 0.23 / km

Flores 1 / 170.0 km 7

Source: Modified from Ciofi & de Boer 2004; Jessop et al. 2006 unpublished data.



Even though the Komodo dragon is not threatened by the leather trade, like the congeneric Water Monitor (V. salvator), and is considered ‘dangerous’ to humans (King et al. 2002; Shine et al. 1996; Ellis 1998), hunting and trade in this species has been occurring for a long time. Since the 1930’s Komodo dragons and their eggs have been hunted illegally for zoo collections and for traditional medicine (Primack et al. 1988). Hien (2003) reported that the local people of Riung, Northwest Flores, claimed that they once illegally caught 50 live specimens of the Komodo dragon for a foreigner. However, the widespread hunting and trading of other reptiles including varanids, for their skins and for food (e.g. Shine et al. 1996) should be considered a potential threat to the Komodo dragon.


The Komodo dragon is protected by international conventions; it is listed in Appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) and is classified by the International Union for the Conservation of Nature Resources (IUCN) as “vulnerable” due to its demographic decline and limited distribution (Ciofi et al. 2002). The World Conservation Monitoring Center (WCMC) also listed the Komodo dragon as “Rare” due to it’s restricted distribution (Ellis 1998). This species is protected in Indonesia under Act no. 5, on Conservation of Biological Resources and Their Ecosystems,1990,; and Government regulation no. 7, on Protected Wild Flora and Fauna, 1998. Primack (2004) included the Komodo dragon in his discussion on “conservation priorities” as he considered that this species met all the criteria of distinctiveness, endangerment, and utility



3.
Biology, ecology, and reproduction of the Komodo dragonS

Compared to other species in the family Varanidae, Varanus komodoenis has an extremely large body size. Adults can reach up to 304 cm in total body length and weigh up to 81.5 kg (Jessop et al. 2006 unpublished data). Sastrawan and Ciofi (2002) recorded the largest Komodo dragon in their field study as being about 300 cm in length and weighing about 69 kg. Auffenberg (1981) recorded his largest specimen caught as being 260 cm in length and 54 kg in weight. This is similar in length to the largest specimens of its sister species, the Papuan monitor V. salvadorii, which reached about 265 cm in length (Horn 2004). Another large varanid species, occuring on the islands of Java, Bali and throughout Lesser Sunda region, V. salvator may reach up to 218 cm in length and weigh up to 25 kg (Gaulke & Horn 2004; Horne & Gaulke 2004).

Hatchlings of V. komodoensis average 30.4 cm in total length and 0.08 kg in weight, and are considerably longer at hatching than other large varanid species (Auffenberg 1981). Ciofi (2004) recorded that hatchling V. komodoensis average 42 cm in total length and 0.10 kg in weight. Hatchling V. salvadorii possibly reach up to 49 cm in total length and 0.55 kg in weight (King & Green 1999).

Komodo dragons can be found from sea level up to about 800 meters in altitude, mainly in tropical dry and moist deciduous monsoon forests (Ciofi 2004). Indeed, this species is generally distributed over entire islands within KNP and western coastal on Flores but is rarely found above 500 meters (Auffenberg 1981).

All varanids are insectivores or carnivores. Unlike other varanids that rely on smaller prey species, Komodo dragons are able to feed on larger vertebrate species, such as the Timor Deer (Cervus timorensis), water buffalo (Bubalus bubalis), or small wild boars (Sus scrofa). Adult Komodo dragons mostly rely on a sit-and-wait hunting strategy to catch their prey (Auffenberg 1981; Green et al. 1990; King & Green 1999; Pough et al. 2001). Hatchlings and juveniles, however, feed on a diverse diet of insects, small lizards, snakes and birds, and use more active hunting strategies than adults (Auffenberg 1981; Ciofi 1999; Mattison 1992).


Female Komodo dragons are known to breed when they reach a body weight of around 20 kgs (King & Green 1999). Females begin nesting in August, as determined by the presence of recent digging activity on the nest, or by repeated observation of individuals in association with the nest during the nesting period. The nesting period is from August through November, with egg deposition occurring in September (Ciofi 1999; Jessop et al. 2004). Up to 38 hatchlings will emerge from the nest at the beginning of the dry season (Auffenberg 1981; Jessop et al. 2006 unpublished data). This early life-stage is dominated by high mortality. Cannibalism among Komodo dragons has been observed and was calculated to comprise 8% of adult dragon scats (Auffenberg 1981). Cannibalism has also been recorded in other Varanids, such as V. griseus, V. gouldii and V. gigantheus (King & Green 1999).



4. Biology and ecology of juveniles


Generally, mortality in lizards is highest during the first phase of their life because they are more vulnerable to predation (Mattison 1992). Poor maternal body condition and stress can decrease the dispersal tendency of juveniles (Meylan et al. 2002). Typically, natural populations show substantial variation, in locomotor performance and body size, which is related to offspring survivorship (Clobert et al. 2000). Thus, the growth and survivorship of offspring in reptiles is greatly affected by the animal’s environment (i.e. Brockelman 1975; Gans & Pough 1982).

Incubation temperature is known to contribute greatly to the quality of emerging hatchlings and affects their survivorship. Cold temperature during incubation can negatively effect hatchlings and hot temperatures can positively effect hatchlings (Elphick & Shine 1998; Phillips & Packard 1994; Qualls & Andrews 1998). This pattern is complex, however, as higher incubation temperature will result in earlier hatching but produce lighter and smaller hatchlings than lower temperature, which produce larger offspring that tend to survive better (King & Green 1999). Du and Ji (2003) reported that moderate temperatures produced optimum size, locomotor ability and success of hatchlings in soft-shelled turtle, while Ji and Du (2000) reported a similar pattern in colubrid snakes. In a further study on lizards, the only discernible influence on juvenile phenotypes was their rearing environment (Qualls & Shine, 2000). Brockelman (1975) found that a wide variety of factors can affect optimal body size and the ability to process energy effectively, and these were also affected by the process of competition, which the offspring must face before and during maturity.

Most juvenile reptiles leave the natal area in which they were born and move into new habitats that are not already occupied or to avoid cannibalism by adults (Pough et al. 2001). Greenwood
(1984) noted that natal dispersal among juveniles is also considered as a mechanism to avoid future inbreeding. Heatwole (1976) and Sarno et al. (2003) described natal dispersal as being driven by the competition for food resources and territories with adult.

Dispersal is a mechanism for survival and is a consequence of permanent movement away from the natal site (Brown & Downhower 1988). Animals will exploit available resources once they are out of their natal sites (Greenwood & Swingland 1984). Pelletier et al. (2003) described how immature turtles immediately swam towards the ocean and steadily traveled long distances once released into the water. Hatchling of varanids tend to climb trees and spend most of their time in the upper strata of trees once they emerged from the underground nests (Auffenberg 1981; Bohme et al. 2004; Ciofi 2004; King & Green 1999).


5. Previous ecological studIES on the KOMODO DRAGONS


The first scientific study on the Komodo dragon was conducted by Major Peter A. Ouwen, director of the Zoological Museum in Buitenzorg (now Bogor), Java, in 1912 (Auffenberg & Auffenberg 2002). Ouwen described the species for the first time. Later, Dunn (1927 & 1928) conducted the first significant observations and gave the initial information on the habitat and distribution of Komodo dragons. Auffenberg (1981) contributed to the first comprehensive study on the ecology and behavior of this species. On the basis of 13 months of field observations, Auffenberg (1981) provided the base line information on aspects of the Komodo dragon’s ecology and behavior.
The most recent field study on the Komodo dragon was conducted by Jessop et al. (2006 unpublished data). Since 2002, they undertook a broad scale investigation in the ecologyl and demography of the Komodo dragon, which has provided important information and instigated a program to monitor population trends. Although numerous field studies on the ecology of Komodo dragons have been conducted, yet there are no detailed studies on the ecology on juvenile Komodo dragons (Auffenberg & Auffenberg 2002). Walsh et al. (2002) studied growth in juvenile Komodo dragons, whilst Lemm (2004) reported a relationship between growth and nutritional treatment in captivity.

Field and captive studies on this creature, including work on growth, chromosomes, physiology, genetics, ecology and social behaviour, parasites, microbiology, conservation and management, have provided valuable information to science and to ensure effective management of the species (Ciofi et al. 2002). The long-term management and conservation objectives underpinning survival of this species will be to maintain a genetically viable, self-sustaining, and free-living Komodo dragon population. Information on reproduction and broad scale ecology of this species is needed to support the management authority responsible to protect it, and, as pointed out by Jessop et al. (2004), information on offspring survivorship are vital for management planning to ensure the maintenance of this unique species in the wild.